Baru-baru ini dunia
penerbitan kembali dibuat heboh dengan terbitnya komik kontroversial Why
Puberty
yang dianggap kurang mendidik dan tidak relevan dengan budaya
ketimuran yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Komik Korea yang mengandung
unsur propaganda Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender itu sempat meresahkan
beberapa tokoh dan kalangan, sehingga membuat buku itu ditarik dari pasaran.
Kejadian ini merupakan
satu di antara banyak permasalahan dalam dunia penerbitan di tanah air. Buku
dengan konten yang “kurang mendidik” sepertinya masih banyak diterbitkan,
sehingga tak jarang kehadiran buku jenis itu bukan menjadi informasi, tetapi
menjadi sesuatu yang “kurang bermanfaat”.
Ini setidaknya menjadi
perhatian khusus bagi para pelaku penerbitan, yaitu penulis dan penerbit. Sudah
saatnya penerbit lebih selektif memilih naskah sebelum menerbitkannya dalam
bentuk buku. Konten yang sekiranya “membahayakan” agar tidak diterbitkan,
sehingga tidak menimbulkan banyak keresahan.
Buku adalah salah satu
media penyampai informasi yang sampai saat ini keberadaannya masih sangat dibutuhkan.
Meskipun sudah marak buku-buku yang bisa diakses lewat media digital (e-book),
keberadaan buku (cetak) masih dicari. Sehingga, banyak penerbit yang terus
menerbitkan buku dengan beragam tema yang dibutuhkan masyarakat.
Bagi penulis, kejadian
seperti ini seharusnya bisa menjadi perhatian agar lebih teliti dalam menulis.
Memilih tema yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pembaca adalah salah satu
cara efektif agar buku yang diterbitkan bermanfaat bagi masyarakat luas, bukan semata-mata
mengejar materi dari royalti. Penulis juga perlu memperhatikan manfaat atau mudarat
yang akan ditimbulkan dari buku yang diterbitkan.
Merdeka dengan Buku
Baru-baru ini bangsa
Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke-69. Nyaris tujuhpuluh tahun bangsa
ini bebas dari cengkeraman penjajah. Namun begitu, bukan berarti bangsa
Indonesia tidak waspada dengan penjajahan dalam bentuk lainnya. Penjajahan
secara fisik mungkin sudah tidak dirasakan oleh bangsa ini, sehingga kita
mengatakan bahwa telah aman dari berbagai macam gangguan. Tetapi, yang harus
diwaspadai adalah penjajahan secara masif lewat berbagai media seperti teknologi
yang perkembangannya semakin pesat.
Tidak dapat dimungkiri
bahwa perkembangan teknologi sekarang ini telah banyak mengubah kebudayaan yang
dianut oleh masyarakat Indonesia. Dulu, sebelum marak media informasi seperti
televisi, handphone, internet dan semacamnya, bangsa ini masih awam
dengan berbagai hal yang berbau budaya Barat. Tetapi, dengan perkembangan
teknologi informasi yang demikian canggih ini, kita sudah dengan mudah bisa
mengakses bahkan “mengamalkan” hal-hal yang datang dari budaya luar. Ini
menjadi keprihatinan tersendiri, karena dengan teknologi yang berkembang generasi
muda sudah demikian jauh terlena dan mulai melupakan kebudayaan sendiri.
Mari kita berpikir
sejenak bahwa saat ini para generasi muda lebih menyukai budaya asing ketimbang
mencintai budaya sendiri. Dari musik, pakaian, hingga gaya hidup. Gempuran
budaya yang datang dari luar sudah demikian dahsyat sehinggga kita lupa bahwa
mempertahankan budaya sendiri jauh lebih penting.
Salah satu contoh
konkret adalah kegandrungan para remaja dengan musik-musik Korea yang belakangan
ini memang cukup merajai industri musik tanah air. Generasi sekarang lebih akrab
mengenal tokoh-tokoh luar daripada mengenali tokoh-tokoh nasional. Lagu-lagu
daerah pun sudah mulai dilupakan karena mereka lebih menyukai lagu-lagu impor.
Melalui buku yang
menjadi salah satu media informasi, sudah saatnya kita mulai mencintai kembali
kekayaan yang dimiliki bangsa sendiri. Batik, lagu-lagu daerah, pakaian adat, atau
tari-tarian daerah adalah beberapa “kekayaan” yang jangan sampai “direbut”
bangsa lain karena kita lebih cenderung menyukai budaya luar. Sejak dini sudah
harus mulai mengenalkan kekayaan budaya bangsa kepada generasi muda.
Di sinilah pentingnya
peran penulis untuk memperkaya tulisan mereka dengan tema-tema lokal dan mengabadikan
kekayaan budaya dan tradisi Indonesia. Banyak sekali dongeng-dongeng Nusantara
yang perlu dilestarikan, juga cerita-cerita fiksi lain yang mengangkat
lokalitas. Ini jadi salah satu jalan untuk mempertahankan kebudayaan sendiri.
Dengan begitu, lewat
buku para generasi muda akan lebih mengenal pahlawan nasional, lagu-lagu
daerah, serta dongeng-dongeng lokal yang tak kalah menarik dari dongeng-dongeng
luar. Namun, bukan berarti kita menutup diri terhadap karya-karya luar negeri.
Membaca karya-karya luar tetaplah penting untuk memperkaya wawasan. Yang
terpenting adalah bagaimana kita bisa memerdekakan bangsa ini dari penjajahan
yang lebih banyak datang lewat media (majalah dan buku), serta kecanggihan
teknologi informasi. (*)
*) Dimuat Radar Malang,
Minggu, 12 Oktober 2014

Sumber gambar: http://www.kiblat.net/files/2014/08/komik-lgbt_5.jpg

2 thoughts on “Melestarikan Budaya Indonesia lewat Buku

Leave a comment