(dok. Pribadi)

Yang membuat karya seorang penulis itu menarik dan berbeda adalah karakter. Penulis yang memiliki ciri khas dan mampu mengeksplorasi tema sederhana menjadi karya yang luar biasa. Dengan demikian, karyanya akan dilirik penerbit besar dan berusaha dikemas menjadi karya yang menarik dan laik jual.

Nah, salah satu keberhasilan seseorang sebagai penulis adalah ketika karyanya cocok dan akan diterbitkan oleh sebuah penerbit. Baik itu oleh penerbit besar maupun penerbit kelas menengah. Dalam hal ini, penulis mau tidak mau harus berhadapan dengan urusan royalti atas karyanya yang akan diterbitkan. Sebelum menyetujui, penulis harus jeli membaca surat perjanjian penerbitan (SPP) yang dikirim penerbit untuk ditandatangani.

Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) huruf f, dijelaskan bahwa imbalan berupa royalti adalah imbalan sehubungan dengan penggunaan hak atas harta tak berwujud (misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan; informasi) (Annida; 2004)

 

Memahami Jenis Royalti

Ada semacam kepuasan serta kebahagiaan tak terkira di hati penulis ketika sebuah naskah dinyatakan lolos dan siap diterbitkan oleh penerbit. Kadang sang penulis, saking gembiranya, tidak memikirkan bagaimana seharusnya jenis royalti yang ditawarkan penerbit. Dalam pikirannya hanya ada satu, “Yang penting buku terbit,”.

Luapan perasaan bahagia atas kabar bukunya akan diterbitkan ini biasanya mereka tumpahkan seekspresif mungkin. Ada yang mengontak hampir semua temannya atau segera update status Facebook atau Twitter. Padahal, ada hal lain yang harus lebih utama dipikirkan karena hal ini menyangkut nasib buku dan masa depan penulis itu sendiri. Yaitu, royalti.

Ada beberapa sistem kerja sama yang biasanya diterapkan oleh penerbit–bergantung kebijakan masing-masing penerbit. Salah satunya sistem beli putus. Di sini karya pengarang dibeli dengan harga tertentu untuk jangka waktu selamanya. Nominal beli putus ini pun beragam. Antara 1-4 juta rupiah per judul buku yang diterbitkan, bergantung penerbit dan kredibilitas sang penulis.

Dengan sistem beli putus penulis diuntungkan karena akan mendapatkan jumlah uang yang lumayan dalam sekali transaksi dan tidak repot menunggu masa jatuh tempo royalti yang biasanya dihitung setiap 3-6 bulan dari buku-buku yang terjual. Di sisi lain, kalau bukunya laku keras, bahkan hingga cetak ulang, total yang seharusnya diterima jika dengan sistem royalti bisa berkali lipat.

Sistem kerja sama lain dari penerbit adalah dengan sistem royalti berkala. Keuntungan bagi penulis dihitung berdasar eksemplar yang terjual dan dibayarkan dengan jangka waktu tertentu. Ada yang setiap 3 bulan sekali, atau 6 bulan sekali.

Besar royalti rata-rata berkisar 8-10%. Memang sangat kecil, terutama kalau ukuran buku yang diterbitkan tipis dan harganya relatif murah. Namun, dengan sistem royalti ini penulis bisa mendapatkan uang sesuai jumlah buku yang dicetak. Jika cetak ulang dan mendapat predikat best seller, penulis akan terus mendapatkan bayaran.

Inilah bentuk kerja sama antara penulis dan penerbit yang kadang memang gampang-gampang susah dipahami. Ada penerbit yang dengan transparan melaporkan buku-buku yang terjual kepada penulis, sesuai waktu yang telah disepakati dalam surat perjanjian. Namun, kadang ada juga penerbit “nakal” yang kurang memperhatikan hak penulis. Penulis dibiarkan gigit jari tanpa menikmati hasil kerja kerasnya sebagai seorang pemegang hak cipta.

Seorang pengarang novel-novel remaja yang sudah menerbitkan beberapa buku mengaku pernah mengalami pahit-getirnya berurusan dengan penerbit. Sebuah penerbit yang menerbitkan salah satu novelnya sama sekali belum memberikan royalti yang harus dia terima. Padahal, bukunya sudah terbit dan beredar selama tiga tahun di pasaran.

Lalu, apa artinya surat perjanjian kontrak yang disepakati antara kedua belah pihak; penulis dan penerbit, jika hak-hak yang seharusnya diterima penulis tidak juga ditunaikan?

Karena itu, seorang penulis harus lebih berhati-hati dengan beberapa penerbit yang kadang hanya mengiming-imingi penulis dengan jumlah royalti besar yang pada praktiknya enggan membayarkan hak yang seharusnya diterima penulis. Mereka secara tidak langsung “memperalat” penulis untuk meraup keuntungan dari penjualan buku-buku yang diterbitkan.

Triani Retno A. dalam bukunya berjudul 25 Curhat Calon Penulis mengingatkan para penulis untuk tidak tertipu dengan penerbit baru yang tidak jelas dan kredibilitasnya belum terbukti. Penerbit jenis ini biasanya hanya menginginkan naskah penulis. Mereka berpura-pura meng-acc naskah seorang penulis, lalu menghilang tanpa jejak. Penerbit abal-abal tersebut bisa saja menerbitkan naskah sang penulis dengan judul berbeda dan penulis yang tercantum pada sampul buku bukan penulis bersangkutan.

Alih-alih mendapatkan royalti, karyanya yang telanjur masuk saja sudah berpotensi untuk dibajak. Karena untuk membajak suatu buku, menurut Triani, mereka tidak perlu mengincar buku yang sudah terbit dan best seller. Naskah yang belum pernah terbit pun bisa saja dibajak untuk mendulang keuntungan dari bisnis ilegal perbukuan. (*)

 

*) Dimuat Jawa Pos, 25 November 2012

12 thoughts on “Royalti dan Transparansi Penerbit

  1. Kasihan sekali nasib penulis indonesia..untuk itu perkenalkan nama saya Taufik dari Penerbit CV. Audiobooks Indonesia menawarkan kepada penulis yang ingin buku lama dan buku barunya terbit dengan bentuk lain dengan royalti yang diatas rata2..bisa hubungi saya di opek_geo@yahoo.com atau lewat facebook : “Tof Bsa” atau 081931235896…terima kasih..

    Like

  2. Halo, makasih buat sharenya. menarik banget, saya penulis dan baru saja keterima naskahnya oleh salah satu penerbit grup gramedia. bagaimana kalau grup penerbit itu? apakah sangat kredibel? atau pernah ada kasus kasus sebelumnya?
    -SS-

    Like

  3. Dan saya mengalami hal seperti itu. Salah satu penerbit di Jogja (salah satu penerbit mayor). Tak ada transfaransi dari penerbit berapa cetak ulang novel saya yang seharusnya ad alewat surat tertulis. Hanya lewat SMS memberitahukan novel saya cetak ulang lalu ada transferan. Bahkan SPP pun dilanggar dimana harusnya setiap cetak ulang saya dapat dua sample novel ternyata tidak ada sama sekali. bahkan royalti dari penerbit di Malaysia pun yang kerjasama dengan penerbit yang menerbitkan novel saya itu tidak pernah saya terima sepeser pun.
    Lalu ada teman saya yang mencoba cerewet menanyakan royalti. Ternyata malah dapat tanggapan yang sangat tidak enak akan diberi surat peringatan.

    Like

Leave a comment